Orangyang beriman pasti memiliki sifat malu dalam menjalani kehidupan. Orang yang tidak memiliki rasa malu berarti seseorang bisa dikatakan tidak memiliki iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah
Syekhas-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu.
KENDARI TELISIK.ID - Rasa malu adalah tabiat yang melekat pada diri manusia. Rasa malu bisa menjadi perisai bagi seorang muslim yang membentenginya dari hal-hal yang menjijikan dan melakukan perbuatan yang menyalahi tuntunan syariat. Malu menjadi pangkal kebaikan dan keimanan seseorang. Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda, "Rasa malu tidak
Dalamkhutbah jum'at (6/6/2014) di Masjid Agung Tasikmalaya, membahas tentang manusia harus punya rasa malu. Katanya "Rasa malu itu terdapat dalam kepala dan perut". Rasa malu pada kepala, yaitu berkenaan dengan berfikir hal positif. Tidak boleh berfikir untuk saling menjatuhkan sesama manusia, karena kita semua adalah sama sebagai makhluk
Rasamalu berkaitan erat dengan keberadaan orang lain. Rasa bersalah berkaitan erat dengan hati nurani atau iman dalam diri sendiri. Jika kita memiliki rasa malu kepada orang lain tetapi tidak memiliki perasaan bersalah dalam diri sendiri, pastilah kita suka slintat-slintut alias berperilaku munafik. Orang dengan tipe seperti itu tentu suka membangun image yang baik di depan orang lain karena
Maluadalah perasaan yang muncul dari tekanan keadaan sehingga merasa rendah, terhina, takut, dan kawatir.Rasa malu muncul bisa karena sebuah ke Orang-orang yang waras memiliki alasan yang cukup mendasar untuk memiliki rasa malu. Sebab rasa malu dibutuhkan manusia sebagai dasar eksistensi diri untuk berkembang dan diakui oleh orang lain
. MALU ADALAH AKHLAK ISLAMOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاريDari Abu Mas’ûd Uqbah bin Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”TAKHRÎJ HADÎTS Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh Al-Bukhâri no. 3483, 3484, 6120, Ahmad IV/121, 122, V/273, Abû Dâwud no. 4797, Ibnu Mâjah no. 4183, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath no. 2332, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/411, VIII/129, al-Baihaqi X/192, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3597, ath-Thayâlisi no. 655, dan Ibnu Hibbân no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân.PENJELASAN HADÎTS Pengertian Malu Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah hidup, dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa hujan, tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]Keutamaan Malu 1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq alaihi]Dalam riwayat Muslim disebutkan,اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang Malu adalah cabang keimanan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]3. Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]4. Malu adalah akhlak para Malaikat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]5. Malu adalah akhlak Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]6. Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat. Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]Abu Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]7. Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]8. Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu Allah Azza wa Jalla berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. [al-Ahzâb/ 3353]Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah tabiat. Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan muktasab, sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab yang diperoleh berada pada puncak tertinggi.”[16]Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadits Ini Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya 1. Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/4140]2. Perintah tersebut mengandung arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]3. Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]Malu Itu Ada Dua Jenis 1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ takwa.”[22]2. Malu yang timbul karena adanya usaha. Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh mengenal Allah Azza wa Jalla dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[23]Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.”[24]Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai Malu Menurut Syari’at Islam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.”[25]Malu yang Tercela Qâdhi Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”[28]Ummul Mukminin Âisyah radhiyallâhu anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”[29]Para wanita Anshâr radhiyallâhu anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang Sulaim radhiyallâhu anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjimâ’?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]Wanita Muslimah dan Rasa Malu Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…” [Al-Qashash/28 25]Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj bersolek, campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut dari Rasa Malu Buah dari rasa malu adalah iffah menjaga kehormatan. Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa setia/menepati janji.Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”[33]FAWÂÎD HADÎTSMalu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah dari malu adalah iffah menjaga kehormatan dan wafa’ setia.Malu adalah bagian dari iman yang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang Shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat mempunyai sifat dari malu adalah tidak tahu malu muka tembok, ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ. “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.”[34]Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak dan Sab’ Mufrad, karya Imam Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ala Shahîh Ibni Sunnah, karya Imam Kabîr, karya Imam Shaghîr, karya Imam Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’ wat Tarhîb, karya Imam Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, cet. Dârul Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, karya Ibnu Hibbân Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim al-Ahâdîts al-Jâmi’ish wa Fawâid minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin Ied Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin Ied al-Hilâli.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 53 [2] Madârijus Sâlikîn II/270. Lihat juga Fathul Bâri X/522 tentang definisi malu. [3] Lihat al-Haya’ fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah hal. 9. [4] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37/60, dari Shahabat Imran bin Husain. [5] Shahîh dalam al-Adâbul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abû Dâwud no. 4676, an-Nasâ-i VIII/110 dan Ibnu Mâjah no. 57, dari Shahabat Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. [6] Shahîh Dawud no. 4012, an-Nasâ-i I/200, dan Ahmad IV/224 dari Ya’la Radhiyallahu anhu. [7] Shahîh no. 2401. [8] Shahîh Mâjah no. 4181 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/13-14 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 940. [9] Shahîh no. 24, 6118, Muslim no. 36, Ahmad II/9, Abû Dâwud no. 4795, at-Tirmidzî no. 2516, an-Nasâ-i VIII/121, Ibnu Mâjah no. 58, dan Ibnu Hibbân no. 610 dari Ibnu Umar radhiyallâhu anhu. [10] Fathul Bâri X/522. [11] Shahîh I/22, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/223, al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb no. 3827, Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/328, no. 5741, dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3200. [12] Shahîh II/501, at-Tirmidzî no. 2009, Ibnu Hibbân no. 1929-Mawârid, al-Hâkim I/52-53 dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 495 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3199. [13] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/497 dan Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 179-180. Cet. I Dâr Ibni Hazm. [14] Lihat Syarh al-Arba’în hal. 83 karya Ibnu Daqîq al-Îed. [15] Shahîh no. 6119. [16] Fathul Bâri X/522. [17] Shahîh no. 110, Muslim no. 30, dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat. [18] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/498 dan Qawâ’id wa Faawâid hal. 180 [19] Fathul Bâri X/523. [20] Lihat Madârijus Sâlikîn II/270. [21] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37. [22] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/501. [23] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 181. [24] Shahîh no. 7. [25] Hasan no. 2458, Ahmad I/ 387, al-Hâkim IV/323, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 4033. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 935. [26] Fathul Bâri X/522. [27] Lihat Qawâ’id wa Fawâid hal. 182. [28] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi dan Ibnu Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil Ilmi wa Fadhlihi I/534-535, no. 879. [29] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi secara mu’allaq. [30] Shahîh no. 130 dan Muslim no. 313. Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat apabila ia mimpi jimâ’ bersetubuh lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jimâ’ bersetubuh keduanya wajib mandi meskipun tidak keluar mani. [31] Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hal. 153. [32] Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 55. [33] Ibid hal. 55. [34] Shahîh no. 6096 dan Muslim no. 2990 dari Abû Hurairah .
loading...Sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Foto ilustrasi/ist Rasa malu adalah benteng pertahanan bagi seluruh akhlak. Ia merupakan keutamaan yang agung dan karenanya perilaku manusia menjadi terarah. Ia adalah pagar yang melindungi tatanan nilai dan moral . Abu Hamid al-Ghazali pernah menyatakan, "Kontrol pertama yang paling tepat dalam diri seorang adalah rasa malu. Karena jika seorang merasa malu, dia akan meninggalkan perbuatan buruk. Hal ini tiada lain karena akalnya telah tersinari, sehingga dia mampu melihat hakikat keburukan dan penyimpangan . Baca Juga Dia mampu mengetahui mana yang harus disikapi dengan malu dan mana yang tidak. Ini merupakan anugerah dari Allah kepadanya dan merupakan penunjuk yang akan mengantarkan dia menuju perilaku yang baik dan hati yang bersih. Nah muslimah, pada diri manusia terdapat tiga macam malu yang perlu melekat padanya. Rasa malu apa saja? Dirangkum dari berbagai sumber, rasa malu yang melekat pada manusia antara lain Baca Juga 1. Malu kepada diri sendiriKetika manusia sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan Malu kepada manusiaIni penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa. Baca Juga 3. Malu kepada AllahIni malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Baca Juga Sifat Malu yang Dimiliki AnakDalam kitab 'Fiqhul Haya', DR Muhammad Ismail Al-Muqoddam menjelaskan, sifat malu ini ternyata menjadi tanda kecerdasan seorang anak. Menurutnya, perilaku malu yang sudah tertanam pada anak semenjak kecil, menjadi kabar gembira bagi orang tuanya jika anak tersebut tumbuh menjadi sosok yang cerdas saat menginjak usia dewasa. Karenanya seorang anak yang pemalu, janganlah diremehkan, tapi dibantu untuk memosisikan sikap malunya secara proposional. Baca Juga Ibnu Maskawih berkata, "Jika kamu melihat seorang anak kecil merasa malu, menundukkan pandangannya ke bawah dengan tersipu, juga tidak menataomu, maka ini adalah tanda keluhurannya dan merupakan bukti bahwa jiwanya sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk."Tahdzib al-Akhlaq h 48,Amr bin Uqbah berkata, "Ketika aku berusia 15 tahun, ayahku berkata kepadaku, 'Hai anakku, telah habis masa kanak-kanakmu. Maka dari itu, peganglah rasa malu dan masuklah kamu menjadi ahlinya serta janganlah kamu meninggalkannya, maka kamu akan tahu manfaat dari sifat malu'." Baca Juga Wallahu A'lam wid
JAKARTA - Sifat malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban. Luhur tidaknya sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan, kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para perempuan. Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan propaganda budaya. Padahal, bandingkan para perempuan di era awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’. Suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil arah lain. Maka, hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, sifat malu itu terbagi menjadi dua. Malunya seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau perbuatan. Lantas, apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan terjaga. Perempuan yang berhias dengan sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun. Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang dimiliki. Sifat malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Telah tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.” Syekh as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat. Tak heran didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut, mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis dan cenderung menampakkan aurat, serta sering kali didapati sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa malu. Syekh as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka. Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi. Selanjutnya, menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan mereka. Dan, jangan lupa memberikan suri teladan yang baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan Anda malu, maka mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Oleh Nashih NashrullahKecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban. Luhur tidaknya sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan, kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para perempuan. Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan propaganda bandingkan para perempuan di era awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’. Suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil arah hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, sifat malu itu terbagi menjadi dua. Malunya seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan yang berhias dengan sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun. Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Telah tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.”Syekh as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat. Tak heran didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut, mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis dan cenderung menampakkan aurat, serta sering kali didapati sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka. Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi. Selanjutnya, menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan jangan lupa memberikan suri teladan yang baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan Anda malu, maka mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Jakarta - Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW pernah menyebut bahwa malu adalah sebagai bagian dari iman. Artinya, malu merupakan salah satu budi pekerti yang dituntut oleh Islam untuk dimiliki oleh setiap dari buku Pendidikan Akhlak Berbasis Hadits Arba'in An Nawawiyah karya Dr. Saifudin Amin, MA, rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki Islam menempatkan rasa malu sebagai bagian yang menyusun cabang keimanan seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ "Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'Lâ ilâha illallâh,' dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang Iman." HR. Imam Al Bukhari No 9.Senada dengan hal tersebut, mengutip dari laman resmi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dosen Fakultas Ushuluddin FU UIN Sunan Gunung Djati SGD Bandung Iu Rusliana menyatakan bahwa malu sangat erat kaitannya dengan iman. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim, ia berkata, اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُArtinya "Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna." HR. Al Hakim.Iu Rusliana juga menyebut rasa malu dapat menjadi tameng bagi diri kita sendiri dalam melakukan perbuatan hal buruk. Sebab salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu."Rasa malu adalah tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan," tulisnya melalui laman resmi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dikutip Rabu 9/6/2021.Sebuah hadits pun mengatakan hal serupa, dari Abu Mas'ûd 'Uqbah bin 'Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu 'anhu ia berkataقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاريArtinya "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah 'Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.'" HR. Bukhari No. 3483.Oleh karena itu, seseorang dengan memiliki sifat malu ini, kebaikan akan senantiasa datang menghampirinya dan akan membantunya dalam menghalangi untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa. nwy/nwy
berikut yang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah